Bank Dunia, Jakarta, 15 Juni 2017
Yang terhormat Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani Indrawati. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves, para pejabat senior, dan para kolega.
Saya merasa terhormat mendapatkan kesempatan untuk berbicara di Indonesia Economic Quarterly, bersama dengan ibu Menteri.
Australia dengan bangga mendukung terselenggaranya IEQ. Acara ini berbicara dengan suara yang independen dan memberi sumbangsih yang hebat untuk pembahasan kebijakan di Indonesia. Edisi kali ini memusatkan perhatian perkembangan anak usia dini dan anak stunting.
Anak stunting memiliki biaya kemanusiaan dan ekonomi yang sangat besar. Stunting meningkatkan risiko kematian anak-anak, dampak kognitif dan perkembangan motorik, menurunkan prestasi di sekolah, dan mengurangi produktivitas pada masa dewasa.
Setiap tahun Indonesia kehilangan 3 persen dari Pendapatan Kotor Per Kapita (GDP) sebagai akibat dari stunting. Stunting pada anak secara fundamental adalah masalah nutrisi dan ketersediaan bahan makanan bermutu dengan harga terjangkau pada masa kritis dalam kehidupan.
Ini juga mengenai soal mengurangi beban penyakit diare sehingga anak-anak dapat menyerap zat gizi yang penting.
Ada konsensus yang jelas menyebutkan bahwa 1.000 hari pertama dalam kehidupan adalah jendela paling penting untuk pertumbuhan kognitif dan fisik.
Program pembangunan Australia memasok sumber gizi mikro dan suplemen untuk anemia di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur.
Pelatihan disediakan untuk pekerja kesehatan guna meningkatkan pengetahuan mereka akan pentingnya zat gizi mikro.
Proyek ini akan menyediakan tablet zat besi serta asam folat untuk 73.500 ibu hamil dan Vitamin A untuk 240.000 anak-anak dibawah usia lima tahun. Tigaratus enam puluh lima ribu (365.000) anak-anak akan mendapat perawatan dengan Zinc dan Larutan Oralit (ORS) untuk diare.
Saya senang sekali bisa mengumumkan hari ini sejumlah 2 juta dolar Australia untuk memperluas pasokan zat gizi mikro untuk remaja perempuan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa paling tidak sepertiga dari anak remaja perempuan menderita anemia.
Dikombinasikan dengan prevalensi pernikahan dini dan kurangnya nutrisi, anemia karena kurangnya zat besi di antara remaja perempuan adalah tantangan kesehatan masyarakat yang sangat besar karena peremuan dengan anemia memiliki lebih banyak kemungkinan untuk melahirkan bayi dengan berat badan rendah, kelahiran sebelum waktunya, kesehatan paska melahirkan yang buruk, dan potensi kematian ibu.
Sanitasi rumah tangga dan pengolahan air minum adalah petunjuk kuat untuk stunting.
Indonesia memiliki sejumlah tantangan untuk diatasi dengan 18 persen populasinya masih hidup tanpa akses ke air yang sudah diperbaiki, 80 persen tanpa akses ke air pipa, dan 98 persen tanpa akses ke sistem pembuangan air.
Sejak 2008, Australia telah menginvestasikan lebih dari 300 juta dolar Australia untuk memperbaiki infrastruktur air dan sanitasi serta praktik-praktiknya di Indonesia, termasuk investasi hingga tahun 2022.
Investasi ini telah menghasilkan hampir 400.000 koneksi baru dan tambahan sebanyak 260.000 koneksi telah tersedia sejak model ini diadopsi dan digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk penerapan secara nasional (menggunakan dana APBN).
Kami bekerja dengan Bank Dunia untuk mendukung program pemerintah Indonesia untuk menyediakan air dan sanitasi ke wilayah pedesaan memungkinkan 9,3 juta penduduk untuk mendapat akses ke fasilitas-fasilitas air yang telah diperbaiki, serta 11 juta orang mendapatkan akses ke sanitasi dasar dan yang sudah diperbaiki di lebih dari 12.250 desa di Indonesia.
Lebih luas lagi, Indonesia tidak akan bisa memanfaatkan kelebihan anak-anak mudanya untuk memperkuat pembangunan ekonomi jika negara ini gagal menjawab malnutrisi dan stunting.
Australia tetap berkomitmen pada air dan sanitasi serta karya infrastruktur lain di Indonesia.
Pada bulan November 2015, Menteri Perdagangan kami mengumumkan program senilai 300 juta dolar Australia yang diperpanjang pada saat yang sama dengan keputusan itu dibuat untuk menghidupan kembali negosiasi-negosiasi Kemitraan Indonesia Australia untuk Ekonomi Komprehensif (IA-CEPA) – jumlah 300 juta dolar Australia mewakili investasi kita dalam kemitraan ekonomi.
Rezim ketahanan pangan dan perdagangan terbuka yang stabil bisa berjalan bersama-sama.
Pada kenyataannya tidak ada satu negara yang bisa atau seharusnya memproduksi semua kebutuhan pangan mereka di dalam negeri.
Indonesia, seperti Australia, mengekspor makanan dua kali lebih banyak daripada impornya.
Menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 2015 Indonesia mengekspor produk pangan senilai 22 miliar dolar ASdan mengimpor senilai 10 miliar.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh riset Bank Dunia baru-baru ini, di tahun yang sama intervensi pemerintah meningkatkan biaya pangan menjadi 36 miliar dolar ASdi Indonesia.
Satu rezim dengan perdagangan terbuka dan efisien memungkinkan satu negara untuk memenuhi kebutuhan dasar pangannya dengan cara membangun industri pangan yang bersaing.
Indonesia memiliki potensi besar untuk melakukan lebih banyak lagi dengan industri pengolahan pangan jika bisa memperbaiki regulasinya.
Menurut Bank Indonesia, sektor pengolahan makanan menyumbang 5,6% dari GDP Indonesia pada 2015.
Ini mewakili sekitar seperempat dari keseluruhan sektor manufaktur Indonesia.
Tetapi statistik dari laporan IEQ sebelumnya yang dikeluarkan pada Oktober 2016 menyebutkan sektor pengolahan makanan Indonesia belum mencapai potensi penuhnya.
Oleh karena itu, dari 2001–2015 import makanan olahan dari Indonesia meningkat sebesar tujuh poin – dari 1,2 miliar dolar ASmenjadi sekitar 8 miliar.
Para pengolah makanan Indonesia dapat bersaing lebih baik dengan sesama mereka di kawasan – negara-negara seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia – jika mereka memiliki akses yang lebih baik ke input bermutu tinggi dan berbiaya rendah.
Ada banyak contoh bagus bagaimana Indonesia mendapat keuntungan dari kemitraan internasional di sektor ini, misalnya, Indomie: gandum diimpor dari Australia dan di tempat lain digunakan untuk membuat produk ikonik Indonesia.
Ini menjawab kebutuhan pangan lokal dan memperoleh pemasukan ekspor.
Ada satu peluang nyata bagi Indonesia untuk menjadi kekuatan pengolahan makanan dengan mempermudah pembatasan-pembatasan pada import pertanian.
Kami berharap bisa membantu mengangkat ini melalui IA-CEPA, yang saat ini sedang dalam proses negosiasi.
Industri pengolahan makanan yang kuat berarti lapangan pekerjaan untuk anak muda Indonesia di perkotaan dan tersedianya pangan yang lebih terjangkau. Lebih dari 10 juta penduduk Indonesia berpindah ke kota tiap tahunnya – mereka akan membutuhkan pekerjaan.
Namun IA-CEPA tidak hanya soal meningkatkan perdagangan barang.
ini juga mengenai kemitraan dalam jasa dan investasi.
Saya sungguh senang bahwa IEQ juga memusatkan pada investasi.
Ini karena ada potensi besar untuk meningkatkan investasi dua arah antara dua negara kita, investasi Indonesia ke Australia tetap (1,2 miliar dolar Australia pada 2016) sementara investasi Australia ke Indonesia tumbuh (9,2 miliar dolar Australia pada 2016, naik hampir 9 persen dari 2015). Indonesia ingin menarik investasi asing untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonominya.
Presiden Widodo telah mengidentifikasi infrastruktur dan manufaktur, sebagai contoh, sebagai sektor prioritas.
Perusahaan Australia ingin menjadi bagian dari cerita pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Perusahaan Australia dapat membantu membawa ilmu dan kepakaran, serta modal, dalam sektor-sektor ekonomi penting yang sedang dibangun Indonesia lebih jauh dan membuat sumbangsih nyata untuk lapangan pekerjaan, pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Seperti Coca Cola Amatil, perusahaan Australia yang menginvestasikan 1,5 miliar AUD di pabriknya, di Bekasi, menciptakan ribuan pekerjaan untuk warga Indonesia.
Pada 2015 Australia memiliki 2,6 triliun dolar ASdalam dana yang terkelola – tertinggi di kawasan Asia dan ketiga tertinggi di dunia.
Sejumlah dana cukup banyak hanya akan datang ke Indonesia jika syarat-syaratnya tepat. IA-CEPA adalah satu peluang untuk membuat perubahan tersebut.
Kami melihat Indonesia telah membuat perubahan-perubahan pada rezim investasi asing dan bahwa Indonesia menduduki peringkat 91 dalam laporan Bank Dunia untuk Kemudahan Berbisnis (World Bank Ease of Doing Business) tahun 2016, melompat 15 peringkat di sepanjang 2015.
Kami menyambut baik perubahan-perubahan tersebut, termasuk membuka sektor-sektor dalam revisi Daftar Investasi Negatif 2016 dan menyambut serta mendorong upaya agenda reformasi lebih banyak dari pemerintahan Widodo.
Namun investor mencari lebih banyak untuk cara keduanya.
Merefleksikan reformasi kebijakan melalui komitmen IA-CEPA yang mengikat akan mengirimkan sinyal kuat pada investor Australia untuk apa yang diinginkan Indonesia dari investasi asing.
Australia menempatkan sedikit pembatasan untuk bisnis asing yang ingin berinvestasi di Australia dan kami ingin melihat lebih banyak lagi.
Kami menyambut baik dan mendorong investasi ke Australia oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. IA-CEPA adalah peluang tunggal untuk mengubah persepsi bisnis mengenai investasi di Australia.
Australia menempatkan prioritas besar pada hasil IA-CEPA yang bermutu tinggi dan komprehensif, kami melihatnya sebagai peluang unik untuk mengubah kemitraan ekonomi kita.
Sebagai bagian dari ini, kami juga melihat IA-CEPA sebagai satu peluang untuk memberi hubungan investasi dua arah untuk mendorong kebutuhannya dengan bekerja melebihi komitmen yang telah kita buat dalam kesepakatan sebelumnya dan menjawab penghalang untuk berinvestasi di Indonesia untuk bisnis Australia.
Terima kasih sekali lagi untuk Bank Dunia untuk kesempatan berbicara hari ini. Permasalahan yang dibahas dalam laporan ini penting. Australia bermitra dengan Indonesia untuk mendapat solusi.