Transkrip program Radio Kookaburra:
Profil Alumni Australia Kamila Andinisari
Pengantar: Mubarok, Kedutaan Besar Australia
Pembicara: Kamila Andinisari, Sutradara Film Indonesia
MUBAROK: Keuntungan menjadi seorang sutradara di usia muda adalah peluang untuk banyak mengalami kegagalan. Demikian harapan seorang sutradara muda Indonesia, Kamila Andinisari, alumni Deakin University, Melbourne, Australia.
Kamila Andinisari, berusia 24 tahun, adalah anak sulung dari empat bersaudara dari keluarga sutradara terkenal Indonesia, Garin Nugroho. Saat ini ia sedang mengerjakan film pertamanya berjudul The Mirror Never Lies yang bercerita tentang suku Bajo di Sulawesi.
KAMILA ANDINISARI: Kebetulan ayah saya seorang sutradara dan dari kecil memang saya membawa nama itu juga. Tapi justru dulu itu waktu saya SD, SMP itu sangat amat menolak dunia perfilman karena dari kecil hampir semua orang yang datang ... ‘oh mau jadi sutradara juga ya?’ dan itu menyebalkan sekali buat saya.
Sampai akhirnya waktu SMP saya belajar fotografi, SMA saya menekuni fotografi, lalu saya melihat banyak orang yang belajar ke ayah saya untuk tahu soal film. Anak-anak seumuran saya semua ingin tahu soal film, belajar membuat film pendek dan lain-lain. Sedangkan saya yang satu atap dengan dia, tidak pernah tahu apa-apa karena dari kecil saya selalu menolak.
Akhirnya mencobalah magang, hanya ingin tahu supaya tidak terlalu bodoh saja sebagai anaknya. Tapi terus ternyata malah kecemplung, tenyata malah tidak bisa berhenti, karena [berangkat] dari fotografi, saya menemukan banyak hal yang berbeda yang bisa ditemukan di film karena itu lebih kompleks, lebih banyak team work. I just love it.
MUBAROK: Kamila lahir di Jakarta. Setelah menyelesaikan SMA Tarakanita I, ia berangkat ke Australia untuk melanjutkan sekolah ke tingkat perguruan tinggi.
KAMILA ANDINISARI: Saya belajar di Australia dari tahun 2003 sampai 2007. Pertama kali ke sana saya belajar di MUFY, Monash University Foundation Year, terus ke MIBT [Melbourne Institute of Business and Technology] untuk mengambil D3, terus ke Deakin untuk mengambil Media Arts dan Sociology, Deakin University, sampai tahun 2007.
MUBAROK: Apa oleh-oleh sekolah di sana?
KAMILA ANDINISARI: Oleh-olehnya banyak banget. Pertama, mungkin buat aku sendiri, dulu waktu pertama kali ke sana umur 16 tahun, belum pernah ke Australia, terus benar-benar pergi ke sana sendirian. Jadi pengalamannya luar biasa, benar-benar nge-push aku untuk mandiri dan lain-lain.
Saya belajar Media Arts. Media arts itu sebenarnya Media Studies, ada subject film-nya juga, subject photography, tapi lebih banyak kita membicarakan kajian di situ. Satu lagi saya belajar sosiologi.
Sengaja tidak mengambil film. Tadinya memang ingin mengambil film studies tapi karena dari SMA juga sudah berkecimbung di dunia itu, saya ingin belajar sesuatu yang lain yang bisa mengimbangi pengetahuan saya di film.
MUBAROK: Kamila mengatakan, Garin Nugroho, sang ayah, termasuk tipe orang yang lebih suka memberikan kebebasan kepadanya untuk mencari pengalaman sendiri dalam berkarir di dunia film.
KAMILA ANDINISARI: Dari dulu memang dia selalu membiarkan saya belajar dari orang lain, tidak belajar dari dia. Bahwa dia akan memberikan opini, dukungan, ya, tapi untuk banyak memberitahu, itu tidak. Dia orang yang membebaskan dan membiarkan I experience everything by myself.
Keuntungan saya untuk memulai menjadi sutradara di usia muda adalah karena saya akan banyak mengalami kegagalan. Itu sebenarnya yang mungkin saya harapkan bisa membuat saya semakin maju, dibandingkan bila saya sudah berumur 30 dan gagal, lebih baik sekarang saya gagal.
MUBAROK: Menurut Kamila, industri film Indonesia saat ini sebenarnya sedang mengalami krisis. Tetapi ia berharap untuk mampu bertahan dalam krisis ini. Sedangkan dalam membuat cerita, ia selalui ingin mulai dari sesuatu yang ada disekitarnya.
KAMILA ANDINISARI: Saya suka travelling, saya suka diving, saya suka alam basically. Jadi menggunakan sesuatu yang dekat itu mungkin akan lebih baik buat saya.
Seperti film ini, film yang sekarang sedang saya kerjakan, lokasinya di Wakatobi, akan banyak underwater scene-nya juga. Itu karena saya diving, karena saya cukup kenal dengan laut dan saya cukup kenal Wakatobi.
Ceritanya sendiri sebenarnya simple banget. It’s a simple story, tentang seorang anak kecil, anak Bajo, yang dia menunggu ayahnya. Kembali mencari ayahnya dengan sebuah cermin. Cermin itu alat bagi orang Bajo untuk mencari orang hilang, seperti bola kristal.
Jadi ia terus mencari ayahnya dengan cerminnya, di mana di lain sisi ibunya sangat menentang dia, terus dia bertemu dengan orang baru, peneliti lumba-lumba yang datang dari Jakarta, terjadi cinta segitiga, seperti itu.
MUBAROK: Kamila berharap, film pertamanya ini The Mirror Never Lies, dapat diluncurkan sekitar pertengahan tahun ini.
[Kookaburra tune]
Terima kasih kepada anda yang telah menjawab quiz SMS periode lalu tentang sebutan resmi untuk tim sepak bola Australia. Jawaban yang benar adalah socceroos, dan pemenangnya adalah: MIRA ELFIA dari Pariaman, LUKMAN NIL HAKIM dari Samarinda dan SRIWAHYUNI dari Pematangsiantar.
Pertanyaan quiz untuk periode ini adalah sebagai berikut: Apakah judul film Indonesia dengan produser Christine Hakim yang proses pasca produksi-nya dikerjakan di Australia? Apakah Embun Pagi ataukah Daun di Atas Bantal?
Jawaban dikirim melalui SMS ke 08 111 492 452 dengan format: Jawaban, Nama, Usia, Stasiun Radio, Pekerjaan dan Alamat anda. Jangan lupa mencantumkan alamat lengkap anda.
Jawaban ditunggu hingga 27 Februari 2011 dan akan diundi. Pemenang akan mendapatkan bingkisan dari Kedutaan Besar Australia.
Januari 2011
RS110103