Transkrip program Radio Kookaburra:
Program Pertukaran Muslim Australia Indonesia 2012
Pengantar: Mubarok, Kedutaan Besar Australia
Pembicara: Anies Baswedan, Ph.D, Rektor Universitas Paramadina; Aan Rukmana, Dosen Universitas dan Alumni Program Pertukaran Muslim Australia-Indonesia; Mila Sudarsono, Direktur Program Pertukaran Muslim Australia-Indonesia
MUBAROK: Bagaimana rasanya menjadi penganut agama minoritas? Menurut Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, hal ini bergantung kepada di mana mereka berada.
[Kookaburra Tune]
Anies Baswedan dikenal sebagai salah satu rektor termuda Indonesia, pengamat politik dan pemimpin muda yang sangat dihormati secara internasional. Ia berbicara tentang Islam di Australia dan Indonesia.
ANIES BASWEDAN: Pemimpin muda Muslim yang mengikuti program ini dari Indonesia dan juga tokoh muda Muslim dari Australia, mereka akan mengalami sebuah fenomena yang berbeda.
Bagi Muslim muda yang ke Australia, mereka akan melihat bagaimana berada dalam suasana sebagai minoritas. Muslim sebagai minoritas di sana. Dan bagaimana dibutuhkannya perlindungan pada minoritas, karena tanpa ada perlindungan pada hak-hak beragama kaum minoritas di Australia, maka Muslim di Australia tidak mungkin bisa menjalankan syariah dengan baik.
Di sisi lain, bagi Muslim Australia yang datang ke Indonesia, mereka akan mengalami suasana di mana menjadi mayoritas. Mereka terbiasa tumbuh besar sebagai minoritas, datang ke Indonesia merasakan hidup sebagai mayoritas, merasakan suasana yang berbeda dan ini keduanya merupakan pengalaman yang luar biasa.
MUBAROK: Lembaga Australia-Indonesia bermitra dengan Universitas Paramadina untuk menyelenggarakan Program Pertukaran Muslim Australia-Indonesia sejak 2007. Saya bertanya kepada Pak Anies apa yang bisa ditawarkan Indonesia kepada negara-negara non-Muslim tentang pemahaman masyarakat dunia terhadap Islam.
ANIES BASWEDAN: Di Indonesia secara umum kehidupan antar umat beragama itu toleran, ada hubungan yang cukup positif. Ada insiden-insiden, tapi kalau anda lihat jumlah masjid, jumlah gereja, jumlah wihara, jumlah pura, di situ kita melihat, betapa luarbiasanya di Indonesia.
Jadi kita bisa menunjukkan kepada dunia dan identitas ke-Indonesiaan itu menonjol kuat. Jadi identitas keagamaan dalam konteks ke-Indonesiaannya cukup kuat. Dan saya rasa cukup menarik untuk dunia belajar dari kita.
MUBAROK: Ada sebagian pengamat yang mengatakan bahwa Indonesia mungkin terlalu moderat. Apakah pendapat seperti itu adil atau fair, kalau dilihat dari kacamata Timur Tengah, misalnya?
ANIES BASWEDAN: Di Indonsia ada kemudahan yang tidak dimiliki di Timur Tengah. Di Indonesia kita dengan mudah membedakan aturan yang bersumber pada agama dan aturan yang bersumber pada adat.
Di Timur Tengah orang sering sulit membedakan, [apakah] sebuah aturan ini sumbernya syariah atau adat Arab. Di Indonesia, mudah dibedakan. Jadi karena itu kalau melihat Islam di Indonesia justru kita lebih mudah membedakannya, ini mana adat, mana syariah, dan itu sesuatu yang menurut saya luar biasa. Di Asia selatan tidak terjadi, di Afrika tidak terjadi, tapi di Indonesia anda memiliki keindahan untuk membedakan itu.
MUBAROK: Salah seorang alumni Program Pertukaran Muslim adalah dosen Universitas Paramadina. Aan Rukmana mengikuti program pertukaran ke Australia sepuluh tahun lalu.
AAN RUKMANA: Yang paling penting adalah ada follow up dari program ini. MEP ini tidak hanya berhenti dari kunjungan people-to-people [antar warga]. Jadi misalnya dari kami ada 12 orang datang ke Australia, dari Australia ada enam orang datang ke Indonesia, jadi bukan hanya itu.
Jadi harus ada istilahnya program bersama yang dibangun. Saya dengan beberapa teman-teman seperti Fahd dan lain-lainnya itu sedang berusaha menyusun satu program, misalnya seperti ada website, website itu jadi jendela informasi yang bisa menggambarkan kondisi Islam baik di Indonesia maupun di Australia.
Jadi bagi siapa pun yang ingin tahu bagaimana Islam di Indonesia bisa memasuki website itu. Sebaliknya yang ingin tahu juga Islam di Australia bisa melalui website itu.
MUBAROK: Tahun ini sebanyak sepuluh peserta dari Indonesia dan lima peserta dari Australia sedang diseleksi. Direktur Program Pertukaran Muslim, Mila Sudarsono, mengatakan banyak cerita menarik yang telah ia dengar dari para peserta Muslim dari Australia tentang pengalamannya menyaksikan Islam di Indonesia.
Mila lahir dan dibesarkan di Australia. Ayahnya berasal dari Solo dan ibu dari Cirebon.
MILA SUDARSONO: Dua tahun yang lalu ada seorang peserta yang asalnya dari India, tinggal di Australia, seorang wanita Muslim, belum pernah ke Indonesia dan dipilih untuk berkunjung ke Indonesia dalam rangka Muslim Exchange Program.
Sebelum dia berangkat ke Indonesia saya bertanya, apa yang kamu tahu tentang Islam di Indonesia? Dia bilang, saya nggak tahu apa-apa, cuma Indonesia memang negara Islam terbesar di dunia.
Kemudian dia pergi ke Indonesia. Dia mengalami keindahannya Islam di Indonesia dan dia benar-benar jatuh cinta dengan Islam di Indonesia dan dia mengatakan waktu kembali ke Australia, “Pengalaman saya berkunjung ke Indonesia dalam rangka Muslim Exchange Program, benar-benar mengubah kehidupan saya, karena di Australia saya kadang-kadang tidak bisa berkoneksi dengan identitas saya sebagai seorang Muslim di Australia.
“Tapi sejak saya pergi ke Indonesia, saya benar-benar bisa berkoneksi dengan identitas saya sebagai seorang Muslim, karena keindahannya Islam di Indonesia.”
MUBAROK: Kalau program ini dihentikan besok, apa yang akan terjadi?
MILA SUDARSONO: Terutama berarti saya kehilangan kerja [tertawa]. Yang kedua, kalau memang dihentikan besok, itu salah satu langkah yang sangat disayangkan, karena Australia dan Indonesia memang terdekat. We’re neighbours.
Banyak Muslim Australia tidak tahu tentang Islam di Indonesia dan banyak juga tokoh Muslim di Indonesia yang nggak tahu tentang tokoh-tokoh Muslim di Australia. Sayangnya disitu, karena memang banyak yang bisa saling dipelajari antara kedua tokoh Muslim yang ada di Australia dan Indonesia.
Maret 2012
RS120307