Transkrip program Radio Kookaburra:
Kisah Pak Raden
Pengantar: Mubarok, Kedutaan Besar Australia
Pembicara: Raden Mohamad Rais, Ketua Lembaga Adat Faer Mambalan; Rusmiati, Warga Dusun Batu Riti
MUBAROK: Berkat kepatuhan warga terhadap awig-awig atau aturan adat yang diprakarsai Pak Raden, jumlah kematian ibu dan anak akibat persalinan dan jumlah anak putus sekolah di Desa Mambalan, Nusa Tenggara Barat, menurun dengan sangat berarti.
[Kookaburra tune]
Pada awal Februari lalu, Raden Muhammad Rais menerima penghargaan Millennium Development Goal Awards dari Pemerintah Indonesia yang diserahterimakan oleh Wakil Presiden RI Dr Boediono di Jakarta.
Pak Raden adalah Ketua Lembaga Adat Faer Mambalan, salah satu mitra Jaringan Masyarakat Sipil Lombok Barat yang mendapat dukungan Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS).
Pak Raden sangat berjasa dalam melindungi kaum perempuan dan anak-anak di desanya terutama melalui aturan adat atau awig-awig yang diprakarsainya.
RADEN MUHAMAD RAIS: Jadi yang pertama, ini berangkat dari saya seorang pribadi dulu karena saya ini dilahirkan pada 1961, lalu setelah umur tiga setengah tahun orang tua [ayah] kami meninggal.
Berangkat dari situlah sekolah, dengan cara-cara sendiri, dengan ibu saya sendiri, begitu seterusnya. Berangkat dari kondisi itu dan lingkungan dan belajar dari beberapa masa lalu sehingga pada tahun 2003 kami dirikan yang namanya lembaga adat itu.
Dan hajat cita-cita besar kami adalah bagaimana caranya anak-anak dan kaum wanita ini bisa sederajat dengan kaum laki-laki, baik hak berbicaranya, hak penghargaannya dan seterusnya karena di masa lampau itu khusus di tempat saya, di Desa Mambalan itu banyak sekali secara hukum adat, anak-anak dan perempuan itu, katakanlah, dirugikan.
Misalnya, kalau pembagian warisan itu memang kita merujuk kepada agama, sesuai dengan rujukan agama, tetapi ketika dibagikan di lapangan itu sering kali yang perempuan ini dikasih bagian paling belakang yang tidak punya harga. Itulah contoh-contohnya.
Yang kedua, kenapa saya membentuk awig-awig tentang bagaimana melindungi anak dan ibu ini, karena pengalaman kami di tempat kami ini, banyak sekali para bapak yang dulunya itu tidak mengizinkan istrinya melahirkan di puskesmas dan di rumah sakit, pertama karena ketidakpahamannya, yang kedua alasannya yaitu terkait dengan biaya.
MUBAROK: Apa suka-dukanya? Selama memperjuangkan cita-cita itu, pasti ada hambatan, ada suka duka, terutama harus berhadapan dengan adat yang sudah lama terbentuk dan Pak Raden harus mengubahnya.
RADEN MUHAMAD RAIS: Kalau saya boleh bercerita apa yang kami alami, yang pertama saya ini dianggap, katakanlah, gila, dianggap lagi mau menghidupkan kembali kebangsawanannya. Itu yang pertama.
Yang kedua mana mungkin kita pada saat era sekarang ini kita sudah maju, mau menghidupkan kembali kearifan lokal, katakanlah, cemoohan dari warga, karena pada saat kami coba-coba membuat konsep, kami dianggap orang gila, apa bisa?
Tetapi apapun itu, kami tetap dengan niat yang tulus, mencoba merayap pelan-pelan dari RT terus ke dusun, ke desa, dari mushalla ke mesjid, mencoba saya sampaikan ke warga. Alhamdulillah dengan adanya program pemerintah Gerdu Bangdes, Kabupaten Lombok Barat, yang pada saat itu coba kami sampaikan konsep ini, Alhamdulillah oleh Pemda Lombok Barat, melalui Gerdu Bangdes-nya bisa diterima. Alhamdulillah itu bisa berjalan.
Tapi kalau hambatannya, baik dari dalam saya sendiri maupun dari luar itu ada. Sangat banyak hambatannya. Malah nyaris, saya ini nyaris akan dikeluarkan dari komunitas. Kenapa? Karena saya ini dianggap melanggar tatanan adat yang sudah ada karena di adat itu sudah jelas aturannya, mana bagiannya perempuan, mana urusannya laki-laki, karena saya itu dianggap merusak tatanan itu.
MUBAROK: Mambalan, dulunya, adalah sebuah kedatuan kecil atau keraton di pulau Lombok dan Pak Raden Mohamad Rais adalah salah satu keturunan bangsawan kedaton itu.
Rusmiati adalah salah seorang ibu rumah tangga di Dusun Batu Riti, Desa Mamabalan, yang memperoleh manfaat dari hasil kerja keras Pak Raden.
RUSMIATI: Dia mengharuskan kita harus melahirkan di Puskesmas. Jaman dulu tidak ada yang melahirkan di Puskesmas, jadi melahirkannya lewat dukun saja. Jadi kadang-kadang, ada juga kayak tetangga saya dulu, ibunya meninggal karena kalau di dukun, alat-alatnya pakai yang biasa saja, pakai pisau.
Kalau di rumah sakit kan steril, pakai sarung tangan, pakai gunting, bersih lah, dikasih obat dari dalam. Tapi kalau dukun, secara dulu lah, diikat perutnya pakai sejenis kain, cukup cuma gitu aja, nggak ada pengobatan, paling pengobatannya pakai daun-daunan.
MUBAROK: Apa pendapat ibu tentang Pak Raden?
RUSMIATI: Orangnya baik. Kalau menjelaskan, jadi kita bisa yakin. Orangnya ramah. Dia tidak memaksa tapi dia memberikan contoh, akibatnya, kalau misalnya melahirkan di rumah akibatnya seperti ini, tapi kalau melahirkannya di Puskesmas, nanti enaknya begini-begini, jadi kita kan tahu.
MUBAROK: Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) adalah prakarsa Pemerintah Australia dan Indonesia melalui Australian Aid.
Maret 2012
RS120309