Transkrip program Radio Kookaburra:
Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dengan Jamban Amfibi
Pengantar: Mubarok, Kedutaan Besar Australia
Pembicara: Budi Laksono, Pendiri Yayasan Wahana Bakti Sejahtera Semarang dan Alumni Queensland Univeristy of Technology
MUBAROK: Penyakit saluran pencernaan merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia termasuk Indonesia. Tetapi sebenarnya penyakit ini termasuk penyakit yang dapat dicegah. Seorang dokter di Semarang mempunyai cara untuk memutus mata rantai penyakit itu melalui jamban amfibi.
[Kookaburra tune]
Sanitasi berkaitan dengan penyediaan sarana pembuangan urin dan kotoran manusia secara aman, serta pemeliharaan kondisi higienis melalui pelayanan masyarakat seperti pengumpulan sampah dan pembuangan air limbah.
Sanitasi yang tidak memadai merupakan penyebab utama timbulnya penyakit. Dan meningkatkan sanitasi memiliki dampak yang sangat positif pada kesehatan di lingkungan rumah tangga dan masyarakat.
Itulah yang menjadi perhatian Budi Laksono, seorang dokter yang memprakarsai program jamban amfibi atau disposal amphibian latrines yang hingga kini telah membantu sekitar 300 hingga 400 keluarga di 15 desa di Semarang.
Dokter Budi Laksono bekerja di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Ia adalah pendiri Yayasan Wahana Bakti Sejahtera yang aktif dalam kegiatan sosial. Pak Budi memperoleh beasiswa dari Pemerintah Indonesia untuk belajar di Queensland Univeristy of Technology (QUT) Australia dan memperoleh gelar Master of Health Science pada 2000.
BUDI LAKSONO: Di dalam pembelajaran kami di QUT, salah satu materi thesis kami adalah disposal amphibian latrines yaitu tipe suatu jamban yang paling sesuai untuk masyarakat Indonesia.
Itu thesis kami tahun 2000 dan kemudian kami applied [terapkan] sejak tahun itu di dalam program kegiatan foundation [yayasan] kami, yaitu memberi latrin [jamban] ini kepada beberapa keluarga, kemudian beberapa desa kita datang dengan sistem yang kita sebut Katajaga yaitu kampung total jamban keluarga.
Kami memasuki kampung dan kemudian kami meninggalkan kampung itu dengan kampung yang sudah terjambani setiap keluarganya. Dengan sistem ini, rantai kesakitan, kematian, kemiskinan yang disebabkan karena penyakit saluran cerna yang menular bisa kita putus.
Dan kebetulan beberapa waktu yang lalu kita adakan riset dengan bantuan teman-teman dari Brisbane. Risetnya menunjukkan bahwa memang sistem ini sangat berhasil dan berhasil memutus rantai itu meskipun tidak total tetapi sangat signifikan.
MUBAROK: Berapa dana yang diperlukan oleh keluarga untuk membangun sebuah jamban baru?
BUDI LAKSONO: Untuk membuat jamban baru bagi keluarga hanya diperlukan stimulan satu buah kloset, satu sak semen, pasir kurang lebih 15 ember. Batu belah itu kurang lebih sepuluh ember, sama wire (besi beton) cuma separoh lonjor saja sudah cukup.
Kalau nggak ada besi beton, kita bisa pakai juga batang bambu. Itu sudah cukup untuk membuat itu. Sehingga dengan stimulan yang harganya tidak lebih dari Rp180 ribu, setiap keluarga bisa memulainya membuat jamban yang sehat untuk mereka sendiri.
MUBAROK: Sebagai alumni QUT apakah ada dukungan yang sudah disampaikan?
BUDI LAKSONO: Pada pertemuan dengan alumni tiga bulan yang lalu kami sampaikan juga ini dan rupanya hari ini, tadi, saya mendapatkan kabar yang bagus.
QUT akan men-support kami untuk membentuk satu desa binaan khusus yang akan kita lakukan jambanisasi secara total. Dan kemudian ini menjadi pusat riset antara QUT dan Akademi Keperawatan di Provinsi Jawa Tengah, kemudian juga antara Kota Brisbane dan Kota Semarang yang merupakan sister city [kota kembar].
MUBAROK: Tadi dokter berbicara sedikit tentang jamban amfibi. Bisa dijelaskan?
BUDI LAKSONO: Jadi begini. Kenapa masyarakat itu tidak punya jamban? Yang kami kaji setelah kami di Puskesmas, ternyata problem mereka tidak punya jamban, salah satunya, jamban itu kalau pada waktu musim kering, kalau kita punya kloset yang tertanam di beton itu, jamban itu tidak bisa dipakai karena orang tidak punya air. Mereka harus pergi ke sungai dan sebagainya. Sehingga mereka cenderung tidak menggunakan jamban.
Oleh karena itu kami menciptakan jamban yang dalam kondisi normal bisa dipakai normal seperti jamban umumnya. Tapi pada musim kering atau pada orang-orang yang tidak terbiasa membawa air, itu bisa diubah menjadi, kalau orang Indonesia mengatakan, jamban cemplung.
Jadi tidak pakai air, langsung masuk ke dalam lubang. Dengan ditutup papan yang bagus, otomatis serangga tidak bisa keluar masuk, angin tidak bisa keluar masuk, sehingga ini tetap sehat juga, daripada mereka di kebun dan di sungai.
MUBAROK: Apakah klosetnya diperlukan kloset yang khusus?
BUDI LAKSONO: Klosetnya, namanya amphibian closet, di mana ini modifikasi dari kloset jongkok yang biasa, tetapi kemudian kita cor di dalam beton yang khusus, yang betonnya ini agak berat sehingga tidak semua orang bisa mengangkat dan memasangnya secara sendiri.
Maka keluarga itu harus rapat bersama-sama untuk mendesain [apakah] itu mau dipakai secara cemplung atau secara normal. Dan itu bisa dilihat di website kami juga, alamatnya www.budihusada.org
MUBAROK: Terima kasih dr Budi. Dokter Budi Laksono mempunyai cita-cita bahwa menjelang 2015 seluruh keluarga di Jawa Tengah telah memiliki jamban sendiri dan pada 2020 seluruh keluarga di Indonesia memiliki jamban.
Bila cita-citanya itu tercapai maka kita akan dapat menyaksikan Indonesia terputus dari rantai salah satu penyakit yang mematikan berkat sarana jamban toilet flushing. Terima kasih anda telah menyimak Informasi Kookaburra.
Februari 2013
RS130203